Penemu Kromosom

Joe Hin Tjio lahir di Indonesia (di Jawa) pada tanggal 02 November 1919. Kelurganya merupakan keturunan Tionghoa yang hidup pada zaman Hindia Belanda. Saat masih kecil Tjio sering membantu ayahnya yang berprofesi sebagai Fotografer.

Tjio menuntut ilmu dari pendidikan dasar hingga menengah di sekolah penjajahan belanda dimana di sekolah ini ia mempelajari berbagai macam bahasa diantaranya : Perancis, Jerman, Inggris, dan Belanda dan tentu saja Bahasa Indonesia. Setiap siswa di sekolah ini memang diharuskan untuk menguasai bahasa tersebut. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Ilmu Pertanian Bogor, disana ia mendalami ilmu di bidang pertanian dan memusatkan penelitiannya pada pengembangan tanaman hibrida yang tahan terhadap penyakit dan penelitian terhadap pemuliaan kentang. Dari sinilah pondasi ilmu genetika membawanya menjadi seorang ahli genetik terkemuka kelak.
Joe Hin Tjio Penemu jumlah kromosom sel darah Manusia
Ketika terjadi Perang Dunia II pada tahun 1942 saat balatentara Jepang menyerbu Indonesia, Tjio dipenjara selama 3 tahun oleh kolonial Jepang yang ketika itu berkuasa di Indonesia. Tjio mendekam di kamp konsentrasi dan mengalami berbagai macam siksaan akibat memberikan bantuan medis kepada penduduk yang membutuhkan. Kejadian itu akhirnya menjadi trauma dalam kehidupan selanjutnya. Setelah perang usai, dia berlayar menggunakan perahu Palang Merah yang diperuntukkan bagi pengungsi untuk berlayar ke Belanda. Negara tersebut menyediakan beasiswa untuknya di Eropa.

Pada 3 bulan pertama, Tjio mendapatkan bantuan dari kerabat teman-teman yang pernah ditolongnya di penjara dan kemudian, dia dapat melanjutkan pekerjaannya di bidang pemuliaan tanaman (plant breeding) di kota Royal Danish Academy, Copenhagen selama 6 bulan.

Tjio mendapatkan kesempatan dari pemerintah Spanyol untuk bekerja pada program pengembangan tanaman mereka. Dia mengepalai penelitian sitogenetika di Zaragoza dan pada setiap masa liburan, Tjio pergi ke Universitas Lund, Swedia, di mana ia memulai kerjasama untuk mempelajari jaringan sel mamalia dengan Institute of Genetics yang dikepalai Albert Levan. Penelitian sejak itu makin meluas hingga ke jaringan hewan mamalia.

Di Universitas Lund inilah, Tjio bertemu dengan Inga Bjorg Arna Bildsfell, seorang ilmuwan di bidang botani dan geologi yang sedang menempuh pendidikan doktoralnya di univesitas yang sama. Pada tahun 1948, dia menikah dengan Inga dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Yu-Hin Tjio.

Ia melanjutkan kembali studinya mengenai cytogenetik tanaman dan serangga hingga menjadi ahli dalam bidang tersebut. Kemudian Tjio menghabiskan waktu 11 tahun di Zaragoza setelah pemerintah Spanyol mengundangnya untuk melakukan studi dalam program peningkatan mutu tanaman. Di sela-sela liburannya, Tjio pun nyambi riset di Institute of Genetics di Lund Swedia dan tertarik untuk meneliti jaringan sel mamalia. Di sinilah penemuannya yang menghebohkan itu ia lakukan.

Penemuan 23 Pasang Kromosom Manusia

Pada tahun 1921, Theophilus Painter secara tidak sengaja menemukan cara untuk mengamati dan menghitung jumlah kromosom pada manusia. Dia mengamati sel testis dari dua pria kulit hitam yang meminta dikebiri dengan cara membuat sayatan tipis dan diproses dengan larutan kimia. Setelah diamati di bawah mikroskop, Painter menemukan adanya serabut-serabut kusut yang ternyata adalah kromosom tak berpasangan pada sel testis dan jumlahnya 24 pasang. Selama hampir 30 tahun, para ilmuwan menyakini temuan tersebut dan mereka juga melakukan penghitungan dengan cara lain yang juga mendapatkan hasil 24 pasang kromosom manusia.

Tjio sedang mencoba mempelajari kromosom manusia dan tanpa sengaja pada pagi hari 22 Desember 1955 terjadi penemuan luar biasa. Tjio menggunakan suatu teknik yang baru ditemukan untuk memisahkan kromosom dari inti (nukleus) sel dengan menggunakan teknik untuk pemisahan kromosom pada sediaan gelas yang dikembangkan Dr. T.C. Hsu dari Universitas Texas di Galveston, Tjio melakukan perbaikan bagi teknik itu. Ternyata metode barunya itu mampu menghitung dengan tepat jumlah kromosom manusia yang ada pada jaringan embryonic paru-paru manusia sebanyak 46 bukan 48 seperti yang diperkiraan para ilmuwan pada masa itu. Ia merupakan salah satu peletak pondasi cytogenetik modern –ilmu yang mempelajari hubungan antara struktur dan aktifitas kromosom serta mekanisme hereditas– sebagai sebuah cabang utama ilmu genetika. Penelitiannya yang lain pada tahun 1959 membawa pada penemuan bahwa orang-orang yang terkena Down Syndrome memiliki tambahan kromosom dalam sel-sel mereka.

Tjio kemudian menuliskan temuannya dalam Scandinavian journal Hereditas, pada 26 January 1956. Di masa itu, merupakan suatu kewajiban di Eropa untuk menuliskan nama kepala lab sebagai penulis utama sebagai pengakuan/penghormatan atas bimbingan dan dukungan yang diberikan lab tersebut, namun Tjio menolak untuk melakukannya. Dia mengancam akan membuang karyanya bila tidak ditempatkan sebagai penulis utama pada jurnal temuan tersebut hingga akhirnya nama Tjio tercantum sebagai penulis utama (first author), sedangkan Albert Levan sebagai penulis pendamping (co-author).

Teknik yang dikembangkannya untuk pengamatan kromosom pada manusia merupakan salah satu temuan besar di bidang sitogenetika (cabang ilmu genetika yang mempelajari hubungan antara hereditas dengan variasi dan struktur kromosom). Tjio membantu pengembangan sitogenetika menjadi salah satu bidang penting dalam bidang medis pada tahun 1959 seiring dengan penemuan kromosom tambahan pada penderita sindrom down yang menghasilkan. Dia menunjukkan bahwa ada kaitan antara kromosom abnormal dengan penyakit tertentu.

Setelah penemuannya mengenai jumlah tepat kromosom manusia, Tjio sering mendapatkan undangan untuk mengajar atau membawakan seminar. Pada kongres internasional mengenai genetika manusia (International Human Genetics Congress) di Copenhagen tahun 1956, Tjio mendapatkan tawaran untuk pindah dan bekerja di Amerika Serikat dari Herman Muller, peraih Nobel di bidang genetika dan profesor di Universitas Indiana. Awalnya, Tjio sempat menolak sebelum pada akhirnya ia menyetujui untuk mengembangkan penelitiannya di Universitas Colorado pada tahun 1957. Beberapa saat kemudia, dia bergabung dengan Institut Nasional Artritis dan Laboratorium Penelitian Patologi terhadap Penyakit Metabolik di Bethesda, Maryland - Amerika Serikat. Bersama dengan Institut Kesehatan Nasional Amerika (National Institutes for Health), Tjio mengembangkan penelitiannya mengenai kromosom dan mempelajari lebih dalam kaitannya dengan leukimia dan keterbelakangan (retardasi) mental.

Pada tahun 1958 Tjio pergi ke Amerika Serikat dan pada 1959 ia begabung menjadi staf National Institute of Health di Bethesda, Maryland, AS. Dia menerima gelar Ph.D. di biofisika dan Sitogenetika dari University of Colorado. Di sini ia mengabdikan diri dalam riset kromosom manusia. Di sisa 37 tahun terakhir karirnya, Tjio bekerja di NIH (National Institute of Health) Washington. Di sana Tjio mengkompilasi koleksi-koleksi foto-foto ilmiah yang mendokumentasikan penelitian-penelitiannya yang luar biasa. Ternyata bakat fotografi terpendamnya tersalurkan juga di NIH.

Prestasi Tjio pun tak bisa dipandang remeh, bahkan sangat membanggakan. Pada tanggal 6 Desember 1962 Presiden AS, John F. Kennedy menganugerahi dirinya penghargaan International Prize Award winner of Joseph P. Kennedy, Jr Foundation. Penghargaan itu diberikan kepada Tjio atas risetnya mengenai keterbelakangan mental.

Pada Februari 1992, Tjio pensiun dengan status sebagai ilmuwan emeritus. Pada usianya yang ke-78 (1997), Tjio berpindah dari tempat tinggalnya di dekat NIH ke Asbury Methodist Village, suatu kompleks pensiunan di daerah Gaithersburg, Maryland. Hingga tutup usia tanggal 27 November 2001, 25 hari setelah ultahnya yang ke-82 di Gaithersburg, Maryland, Amerika. Kita boleh berbangga sekaligus prihatin, bangga karena ilmuwan kelahiran Indonesia mampu memberi sumbangsih besar untuk ilmu pengetahuan, tapi juga prihatin karena di negeri kita ‘belum’ menjadi tempat bagi ilmuwan luar biasa.

Banyak potensi besar orang-orang cerdas yang kurang diperhatikan, sehingga mereka ‘dibajak’ oleh negara lain yang sudah maju dan mau menghargai kehebatan mereka, bahkan sejak mereka masih sangat muda. Tentu sayang jika orang hebat seperti Joe-Hin Tjio yang lahir di Jawa pada akhirnya dikenal sebagai ahli genetika Amerika.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proses Pembekuan Darah

Model Rumah Minimalis

Struktur dan Fungsi Kulit Sebagai Sistem Ekskresi